TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN

I Nyoman Lemes

Abstract

Upaya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya perselisihan hubungan industrial belum mencapai hasil yang optimal sesuai yang diharapkan, karena: a) Dari segi aturan hukum, baik itu hukum matriil maupun hukum formal telah ada, namun demikian masih mengandung kelemahan. Karenanya pihak yang kuat dalam hal ini pihak pengusaha masih dapat melakukan terobosan-terobosan untuk memanfaatkan aturan hukum untuk kepentingan sepihak. Seperti perihal Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa pekerjaan yang dapat dijadikan dalam perjanjian “outsourcing” adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan pokok atau proses produksi dari suatu perusahaan, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Tapi nyatanya banyak perusahaan yang menyimpang dari aturan ini. Banyak pekerja yang mengerjakan proses produksi justru diletakkan pada “outsourcing”, yang tentunya sekedar untuk melepas tanggungjawab ketenagakerjaan kepada perusahaan lain; b) Dalam hal kelembagaan, lembaga yang menangani penyelesaian perselisihan hubungan industrial terdiri dari: Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. Kenyataannya belum sesuai dengan harapan buruh, karena cenderung mengutamakan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagai lembaga litigasi dan kurang memberi peluang pada lembaga non litigasi sebagai lembaga penyelesaian alternatif. Sehingga penerapan azas musyawarah dalam mencari penyelesaian sengketa menjadi menyempit. Pengaturan mekanisme penyelesaian hubungan industrial, kenyataannya masih ada kelemahan-kelemahannya seperti: terlalu formal, memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit sehingga cenderung merepotkan pekerja/buruh. Hal-hal yang menjadi kendala dalam penyelesaian perselisihan perburuhan adalah: (a) Adanya ketidakkonsistenan antara kaidah atau norma hukum dengan nilai-nilai Pancasila, karena secara kemanusiaan pekerja/buruh yang harus mendapat perlindungan justru dihadapkan pada berbagai kesulitan dalam proses berperkara; (b) Ketidaksiapan para pihak untuk menerapkan idealisme hubungan industrial, yang menjurus pada pengutamaan kepentingan masing- masing pihak. (c) Dengan proses penyelesaian perkara seperti diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hukungan Industrial, peran organisasi pekerja/buruh sebagai unsur kekuatan kolektif dalam penyelesaian hubungan industrial bergeser digantikan oleh perjuangan individual masing-masing pekerja/buruh, sehingga pekerja/buruh cenderung pragmatis untuk menerima tawaran perusahaan walaupun merugikannya.

Full Text:

PDF

Refbacks

  • There are currently no refbacks.