AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA PPAT YANG WAJIB PAJAKNYA TIDAK MELAKSANAKAN PEMBAYARAN BPHTB DAN PPh DALAM PROSES PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN (STUDI KASUS DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BULELENG)
Abstract
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Nomor 130 Tahun 2000 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988) menyatakan yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sebagai obyek pajak, peralihan hak atas tanah dan bangunan dikenakan pajak dari kedua sisi, yaitu dari pihak penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang diperoleh dari penjualan tanah dan bangunan, Sedangkan dari pihak pembeli dikenakan pajak yang berupa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Timbulnya utang pajak dari Wajib Pajak BPHTB atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan adalah pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta dihadapan PPAT. Akta Jual beli yang dibuat dihadapan PPAT yang wajib pajaknya tidak melaksanakan pembayaran BPHTB dan PPh, tetap bersifat sah sepanjang pembuatan akta sesuai dengan ketentuan Pasal 97, 98, 99, 100, 101 dan 102 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam proses pendaftaran peralihan hak jual beli di Kantor Pertanahan apabila ditemukan berkas peralihan hak jual beli yang tanpa dilaksanakan pembayaran pajak BPHTB dan PPh setelah di sesuaikan dengan data tanah dan bangunan yang dijadikan objek peralihan hak, maka sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan, Kantor Pertanahan menolak berkas permohonan.
Full Text:
PDFRefbacks
- There are currently no refbacks.